Pario dan Puigi, Si Tukang Ledeng

Pshhhh…psshhhhhh…psssshhhhhh
Kota Jamur sedang dalam keadaaan darurat, suara ini terdengar dimana-mana. Dari setiap rumah penduduk terdengar bunyi “ Pshhh” dan seruan gusar pemiliknya. Suara apakah ini? Suara itu keluar dari kran air di wastafel, di kamar mandi dan dimana-mana. Suara air mengalir yang biasanya kini digantikan oleh bunyi angin yang mengalir di saluran ledeng.
King Kappa, musuh kota itu, berhasil menghancurkan sistem saluran air bersih ke Kota Jamur. Dan akibatnya penduduk kota tidak bisa mendapatkan air untuk minum, mandi dan mencuci pakaian. Dalam sekejap kota itu menjadi kota yang sangat kotor, dimana-mana orang-orang berbibir kering dan memakai baju berbau keringat yang lama tidak dicuci. Harapan kota ini hanya terletak pada Pario dan Puigi bersaudara, tukang ledeng kota itu.

“ Pario, kita harus menyelamatkan penduduk kota ini. Lihat betapa kehausan dan kotornya baju mereka…belum lagi bau asem yang membuat besi-besi berkarat.”
“ Kau benar, Puigi. Kita harus pergi ke Sumber Air dan menyambungkan pipa ledeng ke kota kita”
Dan mereka berdua pun pergi ke gunung Hore- Hore, tempat Sumber Air berada.

Di kaki gunung, mereka menemukan sebuah tangki yang terlihat indah dan mengkilap.
“Pario, mungkin ini tangki air yang kita cari. Biar kucoba membuka salurannya”
“ WUUUUUSSSSSSSSHHHHHHHHH…..”, dari saluran keluar tangki itu bertiup angin yang kencang.
“ Puigi, ini bukan tangki air tapi tangki udara. Tangki ini mungkin akan menyejukkan penduduk Kota Jamur untuk sementara, tapi tangki ini tidak akan bisa membersihkan kekotoran kota”.

Di pertengahan gunung, mereka menemukan tangki yang tampak besar dan kokoh.
“ Pario, mungkin ini tangki air yang benar. Biar kucoba membuka salurannya”
“ BLOOOPPPPPPPP..”, dari saluran keluar tangki itu keluar adukan semen kental.
“ Puigi, ini adukan semen. Kalau penduduk kota mandi memakai ini, mereka tidak akan bersih. Justru mereka akan semakin betambah berat dan tidak akan bisa melangkah ketika semen ini kering”.

Di puncak gunung, mereka menemukan sebuah tangki yang tidak terlihat indah, tidak juga terlihat besar dan kokoh. Tangki itu terlihat biasa saja, hanya saja sepertinya tangki itu tertanam dalam dan kokoh ke gunung itu. Ada sebuah papan petunjuk yang bertuliskan “ Sumber Air Yang Tak Akan Pernah Habis”.
“ Pario, sepertinya ini bukan sumber air yang kita cari. Kelihatannya ini cuma tangki biasa yang tidak ada istimewanya. Lagipula mana mungkin airnya tidak terbatas? Pasti suatu hari nanti habis. Mari kita pergi ke gunung berikutnya.”
“ Tidak,Puigi. Bukankah di sana tertulis “ Sumber Air Yang Tak Akan Pernah Habis “? Kita percaya saja pada tulisan itu dan mari kita buka salurannya.
“ CCCUUUURRRRRRR….”, air menyemprot dengan deras dari tangki itu.
“ Tapi, Pario…mana mungkin airnya tidak pernah habis? “
“ Kita percaya dan lihat saja, Puigi. Sekarang mari kita sambungkan sumber air ini ke kota kita. Kemarikan pipa ledengmu”.

Puigi mengambil sesuatu dari sakunya dan menyerahkannya pada Pario.
“ Puigi, ini sedotan…kenapa kau memberiku sedotan? Yang kuminta itu pipa ledeng yang besar dan kuat.
“ Maafkan aku Pario, tapi pipa itu berat dan sulit dibawa. Jadi aku mengambil pipa paling kecil yang mudah dibawa.”
“ Puigi, kita bertanggung jawab untuk membawa Air ini ke kota. Kalau pipa yang kita bawa kecil, sebesar apapun sumber air disini, tetap saja waktu sampai ke kota airnya tidak akan cukup. Baiklah, aku akan memakai pipa yang kubawa”

Pario dan Puigi bekerja keras membangun jaringan ledeng dari sumber air ke kota. Ketika mereka berhasil memasang ledeng dari puncak gunung ke kota, kesulitan lain muncul. Kran ledeng utama kota berkarat dan sulit digerakkan, walaupun saluran ledeng sudah terbentuk tapi air tetap belum bisa mengalir.
“ Puigi , kita harus memutar kran air ini supaya air mengalir. Ayo kita kerahkan tenaga untuk memutarnya”.
Dengan sekuat tenaga mereka memutar kran itu, tapi kran itu tetap tidak bergerak.
“ Pario, ayo semangat. Ingat penduduk kota kita, bukankah kita menyayangi mereka? Bukankah kita tidak ingin melihat mereka kehausan dan hidup dalam kekotoran”.
“ Kau benar Puigi, mereka kelurga dan teman-teman yang kita kasihi. Kita harus berusaha demi mereka.”

Dan dengan kata-kata itu, kran air yang berkarat bergerak dan air mengalir masuk ke dalam kota. Dan setiap orang yang kehausan minum, dan setiap orang yang kotor membersihkan dirinya.

Tangki udara yang indah adalah agama yang berisi kata-kata manis dan indah, menyegarkan untuk sementara tapi tetap tidak akan membersihkan dosa.
Tangki adukan semen adalah agama yang dipenuhi dengan hukum dan aturan yang memberatkan diri kita, tapi tidak satupun dari hukum itu yang membersihkan kita dari dosa.
Tangki “ Sumber Air Yang Tak Akan Pernah Habis” adalah Tuhan kita, Yesus. Dia mungkin tidak terlihat indah atau kuat, tapi kasihNYA tertanam dalam dan tidak akan pernah goyah.
Kita adalah saluran air berkat dan kuasa, kalau kita tidak melatih diri kita dan tidak memurnikan iman kita, sebesar apapun kapasitas sumber air itu, semuanya akan percuma kalau diri kita kapasitasnya kecil.
Dan yang terakhir, semua kuasa dan berkat memang hebat, tapi tanpa kasih semuanya tidak berguna. Karena kasih adalah kran yang membuka saluran kuasa dan berkat dan mengalirkannnya pada orang-orang yang membutuhkan.

PS : Nama tokoh sebenarnya disamarkan untuk menghindari pelanggaran hak cipta ^^

Ayahku Frankenstein

Malam gelap, halilintar bersahut-sahutan, suara tawa sinting dari seorang profesor. Bunyi rantai dan mesin-mesin yang bergemuruh diselingi kilatan-kilatan bunga api listrik. Dan di malam itu, sebuah papan besi dengan sebentuk mahluk di atasnya yang tertutup kain dinaikkan ke atas puncak bangunan. Dan ketika petir menyambar, jari-jari tangannya bergemeretak. Dan di malam itu lahirlah ayahku…

Bohong dong…saya emang ga kenal papa saya tapi pastinya sih masih manusia normal. Sebenernya, saya ga pernah kenal papa saya. Waktu saya lahir, mama saya meninggal dan saya diangkat anak oleh temennya. Dan berdasarkan cerita mama angkat saya ini, papa saya yang asli kabur waktu mama saya hamil dan mungkin sudah meninggal entah dimana. Mama angkat saya masih muda, tapi karena dia terlalu sibuk mengurus saya dan engkong saya plus ngusahain toko, akhirnya mama angkat saya ga pernah menikah. Karena itu saya ga punya sosok ayah dalam hidup saya.Engkong saya adalah satu-satunya sosok pria yang paling dominan, tapi dia tetap bukan sosok ayah.

Waktu saya bertobat di masa SMA, saya menemukan banyak pembimbing yang kemudian menjadi contoh buat saya bagaimana seharusnya seorang pria berperilaku. Pembimbing – pembimbing saya punya sifat yang berbeda – beda dan mengajarkan pengalaman hidup yang berbeda juga. Ada yang mengajarkan doa, ada yang mengajarkan kesetiaan, ada yang mendampingi waktu saya masih kecil secara rohani. Bahkan ada satu pelayan gereja senior yang berteduh dari hujan di kost saya mengajarkan bagaimana cara membaca Alkitab seperti mencari harta tersembunyi. Saya yakin dia sendiri pasti sudah lupa, tapi buat saya itu adalah sepotong dari sosok ayah yang terbentuk.

Seperti Frankenstein yang dibentuk dari potongan tubuh yang berbeda-beda, sosok ayah dan sosok pria sejati dalam hidup saya dibentuk dari potongan –potongan hidup banyak orang yang membimbing saya. Dan saya bersyukur karena hal itu, walaupun tidak sempurna tapi ayah Frankenstein ini mengajarkan banyak hal yang baik dan mengenalkan saya pada Tuhan. Tapi mereka tetap bukan sosok ayah yang saya rindukan. Dan perlu waktu cukup lama bagi saya untuk mengakui kalau saya memang membutuhkan seorang ayah.

Mama saya sering ribut dengan saudara – saudaranya dan sejak saya kecil mama saya sudah sering cerita ke saya masalahnya. Saya tahu mama saya ga bermaksud buruk, tapi hal itu membuat saya merasa ga aman dalam keluarga. Keluarga bagi saya bukanlah tempat aman, tempat berlindung dan bermanja, tapi rumah dengan banyak masalah yang harus saya tanggung di masa depan nanti. Dan entah sejak kapan saya berhenti mengandalkan keluarga dan menanggung semua masalah sendiri. Dan disinilah masalah bermula……

Yang ga saya sadari, walaupun dalam hati saya bilang ga butuh ayah, saya tetap mencari rasa aman yang seharusnya ditawarkan seorang ayah ke tempat lain. Saya mencari di gereja, tapi tentu saja saya kecewa. Pembimbing saya baik - baik, tapi mereka juga punya masalahnya sendiri, punya keluarga sendiri dan sedekat apapun saya dengan mereka, saya tetap bukan anaknya dan mereka bukan ayah saya. Dan sikap saya sendiri ga banyak membantu. Ketika saya menemukan pembimbing yang saya hormati, saya cenderung bersikap keras dan mendebat mereka. Bukan karena saya benci, tapi karena saya ingin pamer kehebatan otak saya. Singkatnya, saya ingin dipuji tapi lewat cara yang menyebalkan ^^.

Ketika saya punya pacar ( akhirnya......diucapkan dengan penuh rasa syukur), saya mengulangi pola yang sama. Saya mencari sosok orangtua yang melindungi, memanjakan, mendorong dan seseorang yang berkata, “ Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja” di dalam diri pacar saya. Tapi, tentu saja pacar saya bukan orangtua saya dan dia ga bisa memenuhi harapan saya. Perlindungan yang saya cari bukan dalam bentuk perempuan berotot berdompet tebal tentu saja, tapi lebih ke arah seseorang yang lebih dewasa secara mental. Dan walaupun saya berusaha menghargai komitmen pacaran ga boleh putus, tapi akhirnya kita putus juga setelah 8 tahun berpacaran. Memang perkara ini bukan satu-satunya masalah yang bikin kita putus, tapi paling tidak sekitar 30% karena masalah ini.

Sampai saat ini saya lebih menyukai perempuan yang lebih tua umurnya, ga sampe beda 20 tahun lah, sekitar 2-3 tahun. Dan sebaliknya, sementara umumnya pria lebih suka “daun muda”, saya ga tertarik dengan perempuan yang lebih muda. Dan dalam hal pemimpin, ketika saya sadar kalau saya tidak bisa berharap dari orang-orang gereja, saya berbalik polaritas. Saya berhenti mengharapkan apapun dari gereja, tentu saja saya masih melakukan semua pelayanan yang menjadi tanggung jawab saya, tapi saya berhenti meminta bantuan apapun dari gereja. Dan saya mengulang pola yang sama, pada akhirnya gereja menjadi keluarga sumber masalah yang tetap harus saya tanggung. Bagi orang lain mungkin itu terlihat sebagai kemandirian, dan mungkin sebagian memang benar. Tapi sebagian lagi adalah keputusasaan pada gereja.

Saya belajar dalam pelayanan konseling, anak-anak yang kehilangan atau kekurangan kasih sayang semasa kecilnya akan terus mencari kasih sayang itu ketika mereka dewasa. Dan seperti saya, mungkin mereka memamerkan kepintaran atau kekayaan untuk mendapat kasih sayang. Dan walaupun pria yang menyukai perempuan lebih tua tidak umum, tapi cukup banyak perempuan yang tertarik pada pria yang jauh lebih tua. Kita mencarinya pada diri pacar kita, teman-teman atau kelompok kita yang pastinya akan selalu berakhir dalam kekecewaan karena, tentu saja, mereka bukan orangtua kita. Terkadang, orang-orang mencari kasih sayang ini sampai ke tahap yang ekstrim, misalnya dengan memakai seks untuk membeli kasih sayang, baik pria maupun wanita.

Saya percaya Tuhan itu ada, dan saya tahu Dia baik, tapi sampai sekarang saya masih melihat Tuhan sebagai majikan dan diri saya sebagai anjing pekerja yang terpisah dari kawanan anak domba di sekeliling Yesus. Lihat? Saya ,mengulang lagi pola yang sama....Tuhan bukan lagi menjadi tempat perlindungan tapi setumpuk tugas dan visi. Tentu saja saya melihat bagaimana Tuhan menjaga hidup saya selama bertahun-tahun. Tapi rasa tidak aman itu membuat saya meragukan kebaikan Tuhan. Dan pergumulan antara separo diri saya yang mengatakan Tuhan itu baik dan separo lagi yang mengatakan kalau Tuhan tidak bisa diandalkan terus berlanjut.

Saya sadar kalau jawaban dari masalah kasih sayang saya adalah Yesus, tapi harus diakui kalau sampai saat ini saya masih bergumul. Bagaimanapun, saya tahu suatu hari nanti, rasa tidak aman dan perlindungan yang saya impikan itu akan saya dapatkan dari Tuhan. Kenapa? Karena hanya Tuhan satu-satunya jalan yang tersisa, saya cukup mengerti untuk tidak berharap pada manusia untuk memenuhi kekurangan kasih ini. Dan seluruh masa depan saya, saya gantungkan pada harapan ini.

PS : Artikel ini adalah bagian pertama dari 3 artikel. Artikel pertama merupakan kesaksian pribadi, artikel kedua menceritakan Cinderela yang ditangkep polisi dan artikel ketiga membahas lebih dalam soal konseling.